"Coba deh kamu cari info sekarang kalau mau daftar preschool berapa biayanya."
Bukan tanpa sebab tiba-tiba suami saya berkata seperti itu. Pasalnya anak kami, Hillary, saat ini sepertinya sudah terhipnotis dengan gadget dan suami saya berpendapat sebaiknya Hill segera disekolahkan saja daripada setiap hari menonton you tube. Hal tersebut dimulai sejak kami pindah rumah bulan Mei 2018. Saat di rumah lama setiap pagi dan sore hari banyak anak-anak sepantaran Hill bermain diluar rumah, dan Hill pun banyak bermain dengan Ama nya (mama saya) di kontakan kakak saya yang memang tidak memiliki smartphone (masih menggunakan handphone hanya untuk berkirim pesan singkat dan telepon ke papa saja).
Ketika tinggal di rumah baru, Mama saya akhirnya kembali ke Surabaya, lingkungan baru tempat kami tinggal tidak banyak anak sepantaran Hill, bahkan saat pagi dan sore sepi sekali di luar rumah. Ditambah lagi kondisi di dalam rumah yang mayoritas menggunakan gadget terutama mertua yang hampir seharian menonton you tube di smartphone. Hal ini sepertinya mendorong rasa ingin tahu si kecil. Melihat cucu nya merengek sambil menangis tentu saja mertua saya langsung memberikan supaya Hill tidak "berisik". Dan rasa "malas berdebat" dengan mertua malah membuat saya harus berjuang lebih melepaskan kecanduan Hill saat ini sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Si Kecil yang selalu menemani Mama |
Jumat, 31 Agustus 2018, saya mendengarkan sharing dari Mbak Lizzie, sapaan akrab Elizabeth T Santosa, yang merupakan Ibu, Psikolog, dan sekaligus penulis buku "Raising Children in Digital Era" saat acara Mom Blogger Gathering bersama Singapore Intercultural School - SIS Bona Vista. Saya sangat tersentil dengan masukkan dari Mbak Lizzie bahwa yang pertama harus diperbaiki justru dari diri saya sendiri, EGO saya yang harus dihilangkan. Perasaan "memiliki" anak yang seringkali mempengaruhi perkataan dan tindakan kita sebagai Ibu dan justru membuat partner (baca: suami) tidak respect dan terburuknya tidak mendukung pola asuh yang ingin kita terapkan terhadap si anak.
Menghilangkan EGO bukan berarti merendahkan diri, justru hal tersebut adalah pembuktian perasaan sayang seorang Ibu terhadap anak-anaknya. Kita perlu bersekutu dengan suami sebagai partner sekaligus Ayah si anak, supaya mendapatkan respect dan dukungan penuh mengenai pola asuh anak.
Menurut mbak Lizzie berikut adalah beberapa karakteristik dari anak era digital :
Menurut mbak Lizzie berikut adalah beberapa karakteristik dari anak era digital :
- Memiliki ambisi besar untuk sukses
- Generasi baru mencintai kepraktisan
- Berperilaku instan
- Cinta kebebasan
- Percaya diri
- Keinginan besar untuk mendapat pengakuan
- Digital dan teknologi informasi
Penggunaan gadget pun ternyata tidak sepenuhnya salah, asalkan penggunaannya dibatasi dan untuk tugas sekolah. Sangat penting untuk kita sebagai orangtua membuat aturan dasar mengenai penggunaan gadget diluar tugas sekolah, misalkan hanya hari sabtu saja atau sabtu-minggu. Dan hal ini juga harus dicontohkan oleh si orangtua (lead by example).
Tips menggunakan internet dan sosmed yang disampaikan oleh mbak Lizzie :
Buku dari Elizabeth T. Santosa M.Psi. - Raising Children in Digital Era |
- Penggunaan sosial media tidak diperuntukkan untuk anak di bawah 13 tahun.
- Aplikasikan peraturan dasar.
- Setting privasi dalam sosial media.
- Gunakan perangkat lunak yang dapat menyaring website (filtering software).
- TIDAK menggunakan laptop/komputer di kamar untuk anak berusia di bawah 14 tahun.
- Orangtua perlu jeli untuk memperhatikan situs-situs yang sering dikunjungi si anak dan orang-orang yang berkomunikasi dengannya.
- Batasi penggunaan telepon genggam.
- Bicarakan dengan anak mengenai bahaya online.
- Melek teknologi.
Sebagai orangtua kita juga harus membangun ikatan emosional dengan anak, karena ikatan emosional yang sehat akan membantu anak dalam menerima supervisi orangtua, mengadopsi nilai yang dianut orangtua, dan menaati aturan yang dibuat dalam keluarga.
Untuk itu di era digital seperti sekarang ini kita pun harus dapat memutuskan pendidikan yang terbaik bagi anak. Memilih sekolah ternyata tidak semudah bayangan saya. Awalnya saya berpikir yang penting lokasi dekat rumah supaya mudah antar jemput anak, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Diperlukan berbagai pertimbangan dalam memutuskan sekolah bagi anak, antara lain:
- Biaya sekolah (uang masuk dan bulanan)
- Lokasi sekolah
- Reputasi sekolah
- Lingkungan sekolah
- Kurikulum yang diajarkan
SIS Bona Vista |
SIS Bona Vista
SIS Bona Vista yang merupakan kepanjangan dari Singapore Intercultural School didirikan pada tahun 1996 dengan dukungan dari pemerintah Singapore dan Raffles Institution. SIS Bona Vista merupakan bagian dari group Singapore International School yang juga terdapat di Jakarta Kelapa Gading dan PIK, Cilegon, Semarang, Palembang, serta Medan.
Di dalam program akademik nya, SIS percaya bahwa semua anak adalah pelajar alami, mereka hanya perlu terlibat dalam cara yang tepat untuk mereka. Bagi SIS pendidikan lebih dari sekedar mengajar, anak-anak justru diberikan inspirasi bagaimana belajar.
Di dalam program akademik nya, SIS percaya bahwa semua anak adalah pelajar alami, mereka hanya perlu terlibat dalam cara yang tepat untuk mereka. Bagi SIS pendidikan lebih dari sekedar mengajar, anak-anak justru diberikan inspirasi bagaimana belajar.
"Kami memotivasi, merangsang, memancing, dan melibatkan siswa kami."SIS sendiri mengadopsi kurikulum dari Singapore School , Cambridge, dan IB dalam lingkungan seperti keluarga yang memgutamakan pembelajaran pribadi. Para siswa dibekali dasar-dasar untuk berkembang dengan cara mereka sendiri dari sekarang dan untuk masa depan.
"Di SIS, kita tidak hanya menunjukkan jalan kepada anak-anak, kita berjalan di samping mereka."
Ki-Ka : Mbak Desy (BPNetwork) - Ms.Lidia (SIS Bona Vista) - Mbak Lizzie - Ms. Monika (SIS Bona Vista) |
School Tour Bersama SIS Bona Vista
Siang itu kami diajak berkeliling di lingkungan sekolah oleh Ibu Monika, kami memasuki ruangan lab, ruangan kelas, hingga lapangan olahraga. Kesan pertama saat memasuki lingkungan SIS Bona Vista sudah terasa nyaman, bersih, dan menyenangkan. Setiap sudutnya tidak monoton seperti jaman dulu saya masih sekolah. Ruangan kelasnya pun unik , colorful, dan kecil karena setiap kelas hanya berisi maksimal 25 siswa.
Salah Satu Pojok Belajar di SIS Bona Vista |
Dari sisi orangtua saya merasa senang, apalagi anak-anak, hehee. Dari informasi yang disampaikan oleh Ibu Monik, mayoritas 70% siswa di SIS Bona Vista adalah ekspatriat, hanya sekitar 30% siswa lokal (Indonesia). Ada 3 bahasa yang digunakan dalam lingkungan sekolah, pertama bahasa inggris, kedua bahasa mandarin, dan terakhir barulah bahasa indonesia. Walau begitu bagi siswa Indonesia pada saat jam istirahat diperbolehkan berbicara dalam bahasa Indonesia.
Rasanya kalau lokasi dekat rumah dan harga terjangkau di tabungan suami mau masukkin Hill ke sekolah seperti SIS Bona Vista ini. Apalagi ada kelas kesenian untuk para orangtua siswa juga loh. Jadi bukan hanya anak-anak yang belajar, orangtua pun diajak untuk berkreasi dan menjadi orangtua kreatif masa kini.
Bagi para orangtua yang sedang mencari beberapa pilihan sekolah untuk anak, bisa datang ke acara Open House dan Mega Bazaar yang akan diadakan hari Sabtu, 15 September 2018 mendatang. Jangan lupa konfirmasi dulu ke nomor yang terdapat di flyer atas yaa.
Flyer Open House & Mega Bazaar SIS Bona Vista |
Anyway terima kasih SIS Bona Vista dan Blogger Perempuan atas undangan Mom Blogger Gathering nya. Selain upgrade ilmu jadi bisa mempelajari sistem pendidikan yang cocok untuk anak-anak di era digitalisasi sekarang ini. Happy Sharing!
(^.^)//
Di Setiap Dinding Terpampang Values, Framework, maupun Majalah Dinding |
No comments:
Post a Comment
Yuk berbagi cerita kalian disini